Followers

Selasa, 20 Januari 2009

Peranan Pemuda dalam Islam (4): Pemuda Harus Menjadi Generasi yang Menjadi Potret Islam

Al-Ikhwan।net Abi AbduLLAAH
Kirim ke teman Print
Para pemuda hendaknya menyadari bahwa mereka haruslah menjadi kelompok yang mampu mempresentasikan nilai-nilai Islam secara utuh bagi masyarakat, yaitu:
1. Mereka menjadi generasi yang hidup qalbunya karena senantiasa dekat dengan al-Qur’an, dan tenang dengan dzikrullah (QS 13/28) [1], bukan generasi yang berhati batu (QS 57/16) [2] akibat jauh dari nilai-nilai Islam, ataupun generasi mayat (QS 6/122) [3] yang tidak bermanfaat tetapi menebar bau busuk kemana-mana.
2. Dalam menghadapi kesulitan dan tantangan, maka para pemuda harus sabar dan terus berjuang menegakkan Islam, hendaklah mereka berprinsip bahwa jika cintanya kepada Allah SWT benar, semua masalah akan terasa gampang.
3. Dalam perjuangan, jika yang menjadi ukurannya adalah keridhoan manusia maka akan terasa berat, tetapi jika ukurannya keridhoan Allah SWT maka apalah artinya dunia ini (QS 16/96) [4].
(bersambung, insya Allah…)
Catatan kaki:
[1] “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’d [13]: 28)
[2] “… dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hadiid [57]: 16)
[3] “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al An’am [6]: 122)
[4] “Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl [16]: 96)

Senin, 22 Desember 2008

Ciri-ciri Generasi Rabbani Oleh : Ust H. Abdul Muhaimin

Perkataan ribbiyy dan rabbaniyy merujuk pada segolongan manusia yang mempunyai ilmu yang luas lagi mendalam berkenaan dengan agama. Dengan bekal ilmunya, ia tak pernah berhenti beramal demi mencari keridhaan Allah SWT. Selain itu, iapun mampu menjalankan amar ma'ruf nahi munkar, dengan penuh kesabaran serta istiqamah. Dalam Al Qur'an Allah SWT menyebut tentang golongan ini dalam beberapa tempat, semisal : Surat Ali `Imran ayat 146; Surat Al Maa-idah, ayat 44; Surat Al Maa-idah, ayat 43; Surat Ali 'Imran ayat 7; dan Surat Ali `Imran, ayat 79. Sibawaih, seorang ahli bahasa berpendapat : jika huruf alif dan nun ditambahkan pada perkataan ribbiyy, lalu menjadi rabbaniyy, menunjukkan mereka adalah golongan yang sangat mendalam ilmunya mengenai ketuhanan (Lisan al Arab).Pada hari kematian Abdullah ibn Abbas r.a, telah berkata Muhamad ibn Ali ibn Hanafiyah “.. hari ini telah gugur seorang rabbaniyy dari umat ini.” Ibn Abbas r.a memang terkenal di kalangan sahabat berkat kedalaman dan keluasan ilmunya. Maka adalah wajar jika ia digelari insan rabbaniyy. Telah dikatakan pula oleh Ali bin Abu Thalib r.a : “Manusia itu terdiri dari tiga golongan : alim yang rabbaniyy, penuntut ilmu demi jalan kejayaan, serta orang hina pengikut segala keburukan.”Di dalam al Taalim Imam Al Banna telah menegaskan bahwa umat mesti membentuk diri, agar menjadi insan kamil yang mempunyai aqidah sejahtera, ibadah yang sahih, akhlak yang mantap, pikiran yang berasaskan ilmu, tubuh yang kuat, hidup yang berdikari, diri yang berjihad, masa yang dihargai, tugas yang tersusun dan sentiasa memberi manfaat kepada orang lain. (Risalat al-Taalim, rukun al-Amal). Itulah kriteria figur generasi rabbani, menurut tokoh pelopor Ikhwanul Muslimin ini.As-Syahid Sayyid Quthb dalam rumusannya mengenai generasi rabbani (dengan merujuk pada generasi sahabat era Rasulullah SAW ), mengemukakan tiga ciri penting dari generasi awal Islam itu, seperti : selalu membersihkan diri dari segala unsur jahiliyyah, sumber rujukan mereka yang utama hanyalah Al Qur'an Nur Karim, dan apa yang dipelajari semata-mata hanyalah untuk diamalkan.Kelahiran generasi rabbani menjadi mungkin, jika umat tetap berpegang pada Al Qur'an dan Al Hadits. Diperlukan pula banyaknya murabi yang mempunyai keluasan dan kedalaman ilmu. Disamping itu, generasi rabbani akan terlahir jika banyak keluarga telah mencapai derajar sakinah, institusi pendidikan, masyarakat serta negara berkomitmen penuh atas tegaknya dakwah Islamiyyah. Usaha melahirkan kembali generasi ini di akhir jaman, merupakan ikhtiar suci yang memerlukan pengorbanan diri, waktu dan harta.

Kunci Membersihkan Hati

Kesuksesan dalam konsep manajemen qolbu adalah bagaimana kita secara konsisten dapat terus melakukan pembersihan hati di sepanjang kehidupan। Kita harus ingat bahwa faktor kunci keberhasilan agar kita bisa bertemu dengan Allah SWT adalah kebersihan hati atau qolbun saliim। Jadi, puncak kesuksesan bermuara pada kebersihan hati. Lalu, wahana pembersih hati adalah tekad (niat) yang kuat."Sesungguhnya amal perbuatan itu pasti mengandung niat, dan setiap orang akan memperoleh apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya ditujukan kepada Allah dan Rasul-Nya, berarti hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya...." (HR Bukhari-Muslim). Ya, kita tidak bisa meremehkan tekad atau kemauan karena ini ibarat generator yang menggerakkan aktivitas positif kita. Sebuah lampu mampu untuk menyala terus-menerus jika ada listrik yang mengalir. Listrik akan mengalir hanya jika generator dihidupkan. Jadi, kalau diumpamakan bahwa kita bisa saja punya kemampuan. Namun, kemampuan itu tidak akan berfungsi manakala tidak ada yang menggerakkannya.
Jadi, pada dasarnya kita sebenarnya mampu untuk shalat tahajud dan shaum Senin-Kamis. Namun, terkadang kita tidak punya tekad untuk melaksanakannya, kita tidak punya penggerak untuk itu. Kita sebenarnya mampu untuk mengubah diri kepada yang lebih baik, tetapi kita tidak punya tekad untuk itu. Setelah tekad, kunci kedua adalah "ilmu" memahami diri. Memahami dan mengenali diri ada ilmunya. Sebagai ilustrasi, jika saya harus mengadakan ceramah di Yogya, saya harus tahu berapa lama dan berapa panjang jarak menuju Yogya itu. Dengan pengetahuan saya terhadap seluk beluk Yogya, saya akan bisa mengelola diri secara efektif. Demikian pula halnya untuk membersihkan hati dan memahami diri kita, akan berlangsung efektif jika kita benar-benar mengenal benar diri kita sampai yang sekecil-kecilnya.
Dengan demikian, seseorang bisa membersihkan hati apabila dia terus-menerus memperbaiki keadaan dirinya yang dirasakan memiliki banyak kekurangan. Ilmu memahami diri ini berbanding lurus dengan tekad. Semakin keras upaya-upaya yang dilakukan seseorang untuk menelusuri siapa dirinya, tentulah tekad untuk memperbaiki diri semakin besar pula. Lalu, semakin besar tekad tersebut maka semakin besar pula kadar ilmu pemahaman diri yang dimiliki.
Ada sebuah fenomena bahwa kini banyak orang yang lebih suka menyibukkan diri untuk memahami sesuatu di luar dirinya. Mereka kurang berkonsentrasi untuk memahami dirinya sendiri. Seberapa banyak sebenarnya kita menuntut ilmu misalnya menghadiri pengajian, mendengarkan radio, melihat acara-acara di televisi, dan bersekolah menuntut ilmu yang tinggi, yang kemudian berdampak pada penguatan tekad kita untuk memahami diri kita? Apakah kita benar-benar, setiap hari, bersedia memahami diri kita? Inilah pentingnya ilmu mengenali diri. Dari sinilah kemudian lahir apa yang menjadi tahapan ketiga upaya membersihkan hati.
Kunci ketiga adalah rajin mengevaluasi diri. Dalam konsep manajemen waktu ada istilah pemetaan dan pembagian waktu. Jika kita hidup dalam 24 jam sehari, tentu kita bisa memetakan waktu tiap jam, tiap menit, bahkan tiap detiknya. Nah, dari pemetaan tersebut, apakah selama ini kita sudah menyediakan waktu untuk mengevaluasi diri?
Sesungguhnya Allah telah mengingatkan manusia betapa pentingnya waktu. Manusia yang profesional adalah manusia yang mampu mengelola waktunya secara efektif. Manusia yang bernilai adalah manusia yang mampu menyediakan waktunya untuk mengevaluasi diri dan saling menasihati dalam hal kebenaran dan kesabaran. "Demi waktu, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan menetapi kesabaran." (QS al-Ashr [103]: 1-3)
Sehari-hari kita menghadapi berbagai sifat dan watak orang, termasuk merasakan watak diri kita sendiri. Jika orang lain membentak ataupun menegur kita yang sombong, otak kita akan merespons apa itu sombong dan apa yang menyebabkan saya sombong. Lalu, hati kita pun diajak berdialog: "Benarkah saya sombong?" Proses itu terjadi karena kita sudah mengenal kriteria (ilmu) kesombongan. Dengan kriteria itulah kita mengetahui hakikat sombong dan akibatnya. Dari situ kita lalu berpikir: "Wah, benar saya ini sombong" atau "Ah, rasanya saya biasa saja, tidak sombong." Proses berpikir ini biasa disebut tafakur. Jika kita sombong, apakah bisa kita menahan kesombongan itu? Jika kita merasa tidak sombong, benarkah apa yang kita lakukan bukan merupakan kesombongan?
Nah, lebih jelasnya bisa saya contohkan seperti ini. Dahulu saya tidak tahu mengapa di wajah saya tumbuh jerawat. Lantaran saya tidak mengerti ilmu perjerawatan ini, saya pun suka mengorek-ngorek jerawat. Akhirnya, jerawat malah timbul banyak. Dan kadang-kadang karena ketidaktahuan saya tentangnya, muncullah infeksi di wajah saya. Namun, setelah saya tahu ilmu perjerawatan, akhirnya saya malah dapat membersihkan jerawat saya. Misalnya saja, jerawat itu akan muncul apabila wajah saya kotor, dan sebagainya. Saya lalu mampu mengendalikan wajah saya dan akhirnya wajah saya bersih dari jerawat.
Kunci keempat adalah upaya membuka diri terhadap kritik yang datang dari luar diri kita. Di sinilah seseorang bisa mempraktikkan kebesaran hati yang dimilikinya. Ia akan dengan lapang dada menerima ketidaksenangan dan keraguan orang lain terhadap dirinya. Bukankah kita sangat diuntungkan dengan adanya pribadi-pribadi yang secara ikhlas mengontrol sikap kita? Mengapa kita harus khawatir dan takut dikritik? Bukankah kritik pedas yang ditujukan kepada kita sama halnya dengan rezeki yang tidak disangka-sangka? Mengapa rezeki? Karena kita sudah dibantu oleh orang-orang di sekitar kita (mungkin termasuk orang-orang yang membenci kita) untuk senantiasa memberikan masukan kepada kita dan masukan itu sangat berharga bagi ikhtiar perbaikan diri.
Terakhir, kunci kelima yaitu becermin pada perilaku orang lain. Kita tidak akan mungkin membersihkan kotoran ataupun kumis dan janggut di wajah jika tidak menggunakan cermin. Cermin memberikan kesempatan bagi kita untuk melihat secara jelas apa yang sebelumnya tidak terlihat. Dalam kehidupan dan perilaku sehari-hari, cermin adalah orang-orang di sekitar kita, baik yang kita kenal akrab maupun yang belum kita kenal. Allah menciptakan berbagai orang dengan berbagai sifat sebagai cermin bagi kita. Subhanallah!
Sifat orang akan bermanfaat sebagai cermin jika kita mengenakan ukuran-ukuran sifat itu kepada diri kita sendiri. Misalnya, jika kita melihat seseorang menunjukkan kesombongannya, lantas diri kita hanya bisa berkata, "Ah, sombong betul orang itu," atau kemudian apakah keadaan sombong itu kita kembalikan kepada diri kita? Tentulah tidak ada gunanya apabila kita hanya mengatakan bahwa, "Orang itu sombong". Yang akan bermanfaat bagi kita adalah jika kesombongan yang terjadi di dalam diri orang lain itu kita kendalikan agar kita tidak menjadi sombong.Sebenarnyalah perilaku orang-orang di sekitar kita bisa menjadi percepatan pembelajaran bagi kita untuk membersihkan hati. Kita menjadikan hidup ini lebih efektif dengan mempelajari perilaku orang-orang di sekitar kita untuk memperbaiki diri, bahkan hal ini lebih efektif daripada sekadar membaca buku tentang pengembangan diri yang lebih banyak dimuati teori. Misalnya, ada orang yang kata-katanya gampang menyakiti orang lain. Hidup kita akan menjadi efektif jika kita tidak memberikan komentar atas orang itu dan kita berupaya saja terhindar agar tidak menjadi orang seperti itu. Wallahua'lam.

www.republika.co.id

Kunci Membersihkan Hati Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Kesuksesan dalam konsep manajemen qolbu adalah bagaimana kita secara konsisten dapat terus melakukan pembersihan hati di sepanjang kehidupan। Kita harus ingat bahwa faktor kunci keberhasilan agar kita bisa bertemu dengan Allah SWT adalah kebersihan hati atau qolbun saliim। Jadi, puncak kesuksesan bermuara pada kebersihan hati। Lalu, wahana pembersih hati adalah tekad (niat) yang kuat।"Sesungguhnya amal perbuatan itu pasti mengandung niat, dan setiap orang akan memperoleh apa yang diniatkannya। Barangsiapa yang hijrahnya ditujukan kepada Allah dan Rasul-Nya, berarti hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya...." (HR Bukhari-Muslim). Ya, kita tidak bisa meremehkan tekad atau kemauan karena ini ibarat generator yang menggerakkan aktivitas positif kita. Sebuah lampu mampu untuk menyala terus-menerus jika ada listrik yang mengalir. Listrik akan mengalir hanya jika generator dihidupkan. Jadi, kalau diumpamakan bahwa kita bisa saja punya kemampuan. Namun, kemampuan itu tidak akan berfungsi manakala tidak ada yang menggerakkannya.Jadi, pada dasarnya kita sebenarnya mampu untuk shalat tahajud dan shaum Senin-Kamis. Namun, terkadang kita tidak punya tekad untuk melaksanakannya, kita tidak punya penggerak untuk itu. Kita sebenarnya mampu untuk mengubah diri kepada yang lebih baik, tetapi kita tidak punya tekad untuk itu. Setelah tekad, kunci kedua adalah "ilmu" memahami diri. Memahami dan mengenali diri ada ilmunya. Sebagai ilustrasi, jika saya harus mengadakan ceramah di Yogya, saya harus tahu berapa lama dan berapa panjang jarak menuju Yogya itu. Dengan pengetahuan saya terhadap seluk beluk Yogya, saya akan bisa mengelola diri secara efektif. Demikian pula halnya untuk membersihkan hati dan memahami diri kita, akan berlangsung efektif jika kita benar-benar mengenal benar diri kita sampai yang sekecil-kecilnya.Dengan demikian, seseorang bisa membersihkan hati apabila dia terus-menerus memperbaiki keadaan dirinya yang dirasakan memiliki banyak kekurangan. Ilmu memahami diri ini berbanding lurus dengan tekad. Semakin keras upaya-upaya yang dilakukan seseorang untuk menelusuri siapa dirinya, tentulah tekad untuk memperbaiki diri semakin besar pula. Lalu, semakin besar tekad tersebut maka semakin besar pula kadar ilmu pemahaman diri yang dimiliki.Ada sebuah fenomena bahwa kini banyak orang yang lebih suka menyibukkan diri untuk memahami sesuatu di luar dirinya. Mereka kurang berkonsentrasi untuk memahami dirinya sendiri. Seberapa banyak sebenarnya kita menuntut ilmu misalnya menghadiri pengajian, mendengarkan radio, melihat acara-acara di televisi, dan bersekolah menuntut ilmu yang tinggi, yang kemudian berdampak pada penguatan tekad kita untuk memahami diri kita? Apakah kita benar-benar, setiap hari, bersedia memahami diri kita? Inilah pentingnya ilmu mengenali diri. Dari sinilah kemudian lahir apa yang menjadi tahapan ketiga upaya membersihkan hati.Kunci ketiga adalah rajin mengevaluasi diri. Dalam konsep manajemen waktu ada istilah pemetaan dan pembagian waktu. Jika kita hidup dalam 24 jam sehari, tentu kita bisa memetakan waktu tiap jam, tiap menit, bahkan tiap detiknya. Nah, dari pemetaan tersebut, apakah selama ini kita sudah menyediakan waktu untuk mengevaluasi diri?Sesungguhnya Allah telah mengingatkan manusia betapa pentingnya waktu. Manusia yang profesional adalah manusia yang mampu mengelola waktunya secara efektif. Manusia yang bernilai adalah manusia yang mampu menyediakan waktunya untuk mengevaluasi diri dan saling menasihati dalam hal kebenaran dan kesabaran. "Demi waktu, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan menetapi kesabaran." (QS al-Ashr [103]: 1-3)Sehari-hari kita menghadapi berbagai sifat dan watak orang, termasuk merasakan watak diri kita sendiri. Jika orang lain membentak ataupun menegur kita yang sombong, otak kita akan merespons apa itu sombong dan apa yang menyebabkan saya sombong. Lalu, hati kita pun diajak berdialog: "Benarkah saya sombong?" Proses itu terjadi karena kita sudah mengenal kriteria (ilmu) kesombongan. Dengan kriteria itulah kita mengetahui hakikat sombong dan akibatnya. Dari situ kita lalu berpikir: "Wah, benar saya ini sombong" atau "Ah, rasanya saya biasa saja, tidak sombong." Proses berpikir ini biasa disebut tafakur. Jika kita sombong, apakah bisa kita menahan kesombongan itu? Jika kita merasa tidak sombong, benarkah apa yang kita lakukan bukan merupakan kesombongan?Nah, lebih jelasnya bisa saya contohkan seperti ini. Dahulu saya tidak tahu mengapa di wajah saya tumbuh jerawat. Lantaran saya tidak mengerti ilmu perjerawatan ini, saya pun suka mengorek-ngorek jerawat. Akhirnya, jerawat malah timbul banyak. Dan kadang-kadang karena ketidaktahuan saya tentangnya, muncullah infeksi di wajah saya. Namun, setelah saya tahu ilmu perjerawatan, akhirnya saya malah dapat membersihkan jerawat saya. Misalnya saja, jerawat itu akan muncul apabila wajah saya kotor, dan sebagainya. Saya lalu mampu mengendalikan wajah saya dan akhirnya wajah saya bersih dari jerawat.Kunci keempat adalah upaya membuka diri terhadap kritik yang datang dari luar diri kita. Di sinilah seseorang bisa mempraktikkan kebesaran hati yang dimilikinya. Ia akan dengan lapang dada menerima ketidaksenangan dan keraguan orang lain terhadap dirinya. Bukankah kita sangat diuntungkan dengan adanya pribadi-pribadi yang secara ikhlas mengontrol sikap kita? Mengapa kita harus khawatir dan takut dikritik? Bukankah kritik pedas yang ditujukan kepada kita sama halnya dengan rezeki yang tidak disangka-sangka? Mengapa rezeki? Karena kita sudah dibantu oleh orang-orang di sekitar kita (mungkin termasuk orang-orang yang membenci kita) untuk senantiasa memberikan masukan kepada kita dan masukan itu sangat berharga bagi ikhtiar perbaikan diri.Terakhir, kunci kelima yaitu becermin pada perilaku orang lain. Kita tidak akan mungkin membersihkan kotoran ataupun kumis dan janggut di wajah jika tidak menggunakan cermin. Cermin memberikan kesempatan bagi kita untuk melihat secara jelas apa yang sebelumnya tidak terlihat. Dalam kehidupan dan perilaku sehari-hari, cermin adalah orang-orang di sekitar kita, baik yang kita kenal akrab maupun yang belum kita kenal. Allah menciptakan berbagai orang dengan berbagai sifat sebagai cermin bagi kita. Subhanallah!Sifat orang akan bermanfaat sebagai cermin jika kita mengenakan ukuran-ukuran sifat itu kepada diri kita sendiri. Misalnya, jika kita melihat seseorang menunjukkan kesombongannya, lantas diri kita hanya bisa berkata, "Ah, sombong betul orang itu," atau kemudian apakah keadaan sombong itu kita kembalikan kepada diri kita? Tentulah tidak ada gunanya apabila kita hanya mengatakan bahwa, "Orang itu sombong". Yang akan bermanfaat bagi kita adalah jika kesombongan yang terjadi di dalam diri orang lain itu kita kendalikan agar kita tidak menjadi sombong.Sebenarnyalah perilaku orang-orang di sekitar kita bisa menjadi percepatan pembelajaran bagi kita untuk membersihkan hati. Kita menjadikan hidup ini lebih efektif dengan mempelajari perilaku orang-orang di sekitar kita untuk memperbaiki diri, bahkan hal ini lebih efektif daripada sekadar membaca buku tentang pengembangan diri yang lebih banyak dimuati teori. Misalnya, ada orang yang kata-katanya gampang menyakiti orang lain. Hidup kita akan menjadi efektif jika kita tidak memberikan komentar atas orang itu dan kita berupaya saja terhindar agar tidak menjadi orang seperti itu. Wallahua'lam. www.republika.co.id